Politik

KPU dan Bawaslu Dikritik, Anggota DPRD NTB Pertanyakan Pola PSU yang Beda-beda

Mataram – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yakni Najamuddin Mustafa mengkritik KPU dan Bawaslu.

Najamuddin menyoroti Pemungutan Suara Ulang (PSU) di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ada di NTB.

Menurutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu mesti lebih cermat dalam menentukan PSU.

“Ini yang salah. Ada apa ini? Apa dasarnya? Semua kan harus komprehensif, jangan dibeda-bedakan,” katanya mempertanyakan.

Dari data yang pihaknya himpun, ada perbedaan perlakuan dalam dikeluarkannya rekomendasi PSU.

“Padahal, saran perbaikan yang disampaikan dan temuan kasus di TPS relatif sama, ” ucapnya.

Informasi yang diserap media ini, sebagai contoh, saran perbaikan dan temuan kasus yang mendasari PSU di Kota Mataram dengan di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Utara hampir sama.

Namun, PSU yang diambil di KLU dan Lombok Tengah adalah PSU penuh alias PSU untuk semua tingkatan pemilihan.

Mulai dari pilpres sampai dengan pileg DPRD kabupaten/kota.
Sementara PSU di Kota Mataram menurut rencana hanya akan digelar untuk kategori pilpres.

” Ini menjadi tidak baik dan penuh kecurigaan. Ini kan seolah-olah kalau pileg boleh kita ngapa-ngapain, pilpres tidak boleh. Atau sebaliknya. Jangan sampai publik beranggapan demikian,” paparnya.

“Ini ada kasus yang hampir sama tapi rekomendasinya berbeda-beda. Apa dasarnya? Ada yang hanya pilpres, ada yang PSU penuh semua pemilihan,” tanya Najam lagi.

Ia pun skeptis dengan output dari pemilu 2024. Pasalnya, ia menemukan banyak kejanggalan dalam setiap tahapannya.

“Hasil pemilu ini bisa jadi berbahaya. Baik pileg dan pilpresnya. Proses banyak kita persoalkan, belum lagi pragmatis dan transaksional. Maka hasil di parlemen nanti, liat nanti. Tidak akan berkualitas, prosesnya banyak cacat. Ini harus bicara kita. Jangan diem saja,” jelasnya.

KPU Lombok Utara PSU di TPS 12 Desa Medana

Sebagai informasi, KPU Kabupaten Lombok Utara telah menggelar PSU di TPS 12 Desa Medana, Kecamatan Tanjung, KLU pada Rabu (21/2/2024). PSU tersebut berlaku untuk semua jenjang pemilihan, pilpres dan pileg

Sementara untuk Kabupaten Lombok Tengah, PSU digelar di dua TPS yakni TPS 27 Kelurahan Praya dan TPS 20 Desa Muncan, Kecamatan Kopang pada Kamis (22/4/2024). Sama dengan di KLU, PSU di Lombok Tengah juga berlaku untuk semua jenjang pemilihan.

Sementara PSU di Kota Mataram menurut jadwal bakal digelar pada Sabtu (24/2/2024) mendatang. Menurut rencana, PSU di 6 TPS hanya akan dihelat untuk kategori pilpres. Padahal, saran perbaikan dan temuan kasus di TPS relatif sama dengan di KLU dan Lombok Tengah.

Disayangkan Tabulasi Internal Partai Disebar

Selain itu Najamuddin juga mengkritik sejumlah partai politik menyebarkan hasil tabulasi internal pileg (real count) kepada publik. Eks Ketua DPW PKB NTB itu menyayangkan sikap yang ditunjukkan parpol tersebut.

Menurutnya, parpol tersebut telah melewati batas kewenangan. Dan dari sisi etika, TGH Najamuddin berpandangan parpol yang bersangkutan tak memiliki ‘etika’ atau ‘adab’ politik yang baik dengan sesama kontestan pemilu.

Oleh karenanya, ia meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menindaktegas pihak-pihak yang menyebarluaskan tabulasi internal tersebut.

“Boleh mekeja pegang data tapi kan untuk internal. Jangan dipublikasikan. Partai seharusnya menahan diri. Ini kan membuat gaduh, psikologis orang terganggu. Makanya saya minta Bawaslu untuk tidak tegas parpol yang begini. Harus ada ancaman, sanksi, bisa sampai diskualifikasi,” katanya.

Ia menduga kuat ada motif politis di balik disebarluaskannya data tabulasi internal parpol soal hasil pileg tersebut.

Lebih jauh, ia berpandangan, data tersebut dapat memantik reaksi publik yang negatif dan bisa berdampak pada munculnya instabilitas (keamanan) daerah.

“Ini kan kurang ajar cara ini, enggak baik cara ini. Ini kan politis sekali. Bisa ribut para pendukung dan simpatisan di bawah. Saya tidak punya kepentingan apa-apa, Bawaslu jangan hanya beri jawaban normatif. Bawaslu jangan dong meminta masyarakat yang mengawasi, apa tugasnya mereka?” paparnya.

Anggota Komisi I DPRD NTB itu memberi contoh, beredar hasil real count salah satu partai yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tak meraih satupun kursi DPR RI dari dua dapil yang ada di NTB.

Menurutnya, spekulasi yang muncul sebab disebarluaskannya data tabulasi internal tersebut memunculkan keributan.

Partai politik, kata sambungnya, mesti berjalan di atas rel sebagai peserta pemilu. Tidak boleh bersikap sebagai lembaga yang menentukan siapa ‘menang kalah’. Ia pun meminta PDIP untuk bersikap.

“Contoh ya, dari mana mereka tahu kalau PDIP itu keluar? (tak kebagian kursi ke Senayan dari dapil NTB). Ini kan ndak boleh, PDIP seharusnya keberatan, ndak boleh diam saja. Makanya Pak Rachmat harus bersikap. Ini kan sama artinya dia dikeluarkan dari gelanggang oleh orang yang tak punya otoritas. Bukan oleh wasit. Sesama pemain jangan jadi wasit lah, merangkap mereka. Ini kan memicu kegaduhan,” tegasnya. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
× How can I help you?