Mataram – Revolusi industri 4.0 adalah dampak semakin majunya teknologi di abad ke-21. Perubahan yang terjadi di dunia memberikan dampak di segala bidang, termasuk bidang industri. Belakangan ini istilah revolusi industri 4.0 semakin sering bermunculan di berbagai media.
Banyak pihak yang membicarakan adanya revolusi industri 4.0. Pemerintah dan sektor swasta saat ini berlomba-lomba untuk melakukan implementasi perubahan agar bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasionalnya.
Hanya saja, industri 4.0 di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Barat (NTB), nampaknya masih jauh dari kata layak disebut sebagai daerah yang sudah berkemajuan.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Lalu Muhammad Iqbal saat orasi ilmiah di depan ratusan mahasiswa Universitas Gunung Rinjani (UGR) belum lama ini mengatakan, langkah awal untuk mengetahui posisi saat ini adalah dengan cara merenungi apakah benar posisi Indonesia saat ini telah benar-benar berada pada industri 4.0 atau masih pada 3.0.
“Kalau kita mau masuk ke industri 4.0, pertanyaan akademisnya adalah apakah kita di Indonesia sudah benar benar sudah berada di industri 3.0?,” katanya.
Mantan Dubes RI untuk Turki ini mengatakan, tidak ada jalan pintas untuk melompat dari industri 2.0 ke Industri 4.0, karena transformasi dari 3.0 ke 4.0 itu bukan hanya historical sequencing (urutan sejarah), tetapi juga logical sequencing (urutan secara logis).
“Sehingga apabila tidak urut maka akan terjadi kegagapan logis, artinya kita tidak bisa bicara mengenai industri 4.0 yang karakter utamanya adalah smart industri sebelum kita terlebih dahulu pastikan kita sudah berada di industri 3.0 yang karakter utamanya adalah komputerisasi, sistem elektronik, sistem informasi dan otomatisasi,” bebernya.
Pria kelahiran Praya ini pun tak menapik jika betul ada segelintir industri yang sudah siap memasuki 4.0, tapi sebagian besar baru akan atau bahkan belum masuk level 3.0.
“Karena ada juga industrial gap (kesenjangan industri) yang harus dijembatani,” imbuhnya.
Menurut Ketua Asosiasi Diplomat Indonesia ini, jika di Indonesia saja belum sepenuhnya siap memasuki industri 4.0, bagaimana dengan industri di NTB?. Apakah perlu akselerasi?. Tesisnya, akselerasi bisa saja dilakukan di sektor yang memiliki akar dalam di NTB, termasuk sektor pertanian.
Lalu Iqbal terheran-heran, ketika banyak orang NTB minder berada di wilayah dengan latar belakang sebagai kawasan pertanian. Bahkan ada yang menganggap pertanian itu seolah sesuatu yang terbelakang.
Sementara New Zealand kata Lalu Iqbal, sampai sekarang tetap mengklaim sebagai negara agraris. Sekitar 70 persen sumber perekonomiannya dari pertanian, termasuk peternakan sapi.
“Mereka bangga sebagai negara pertanian yang mengantarkan menjadi salah satu negara terkaya, dengan income perkapita tertinggi di dunia,” papar Lalu Iqbal.
Menurut Lalu Iqbal, Pulau Lombok bahkan jauh lebih berpotensi dibanding New Zealand. Kesuburan Lombok tak hanya cocok sebagai lahan bertanam padi. Ia mengutip pernyataan pengusaha nasional Anthony Salim yang menyebut Pulau Lombok memiliki ketinggian di atas permukaan laut yang lengkap.
“Dengan kondisi tersebut, menanam tumbuhan apa pun yang berasal dari seluruh dunia pasti ada tempat tumbuhnya yang cocok di Lombok,” pungkas Lalu Iqbal.