Pimpinan Ponpes di Gunung Sari Lombok Barat yang Cabuli Puluhan Santri Ditahan, Modus Transfer Lafadz ke Badan

MATARAM – Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) di Desa Kekait, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat inisial AF resmi diamankan Polresta Mataram.
Kepastian itu disampaikan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Mataram AKP Regi Halili. AF diamankan lantaran alasan keamanan.
“Ya untuk sementara terduga pelaku (AF) masih kami amankan terlebih dahulu dengan menimbang situasi keamanan apabila yang bersangkutan dipulangkan,” jelasnya.
Regi menegaskan bahwa penanganan kasus dugaan pelecehan seksual ini masih berjalan di tahap penyelidikan, mengingat laporan pertama masuk pada hari Rabu pekan lalu.
Regi menuturkan bahwa
pihaknya mesti melakukan seluruh tahapan
penyelidikan sebelum akhirnya menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana dalam kasus yang menimpa AF.
“Ya kan nanti ada penguatan alat bukti dengan melakukan visum terhadap korban dan mencari korban lain yang disebut mencapai puluhan,” jelasnya.
Untuk proses penanganan laporan pada hari ini, kepolisian meminta keterangan terduga pelaku berinisial AF bersama sejumlah korban maupun pimpinan pondok pesantren.
Begitu juga dengan melakukan olah tempat
kejadian perkara di lingkungan pondok pesantren yang berada di Desa Kekait, Kabupaten Lombok Barat tersebut.
“Untuk penetapan dan penahanan belum kami lakukan, itu akan berlangsung usai tahapan penyelidikan ini dalam pengumpulan alat bukti ini selesai dan kami gelar,” ujarnya.
Modus Transfer Lafaz ke Badan
Diberitakan sebelumnya, AF dilaporkan oleh pelapor yang mengaku sebagai salah satu korban AF. Dalam Tanda Bukti Lapor Nomor: TBL/117/IV/2025/SPKT/POLRESTA MATARAM/POLDA NTB, pelapor melaporkan AF ke Polresta Mataram pada Minggu (20/4/2025) pukul 14.00 Wita.
Dalam uraian singkat kejadian yang dilihat PolitikaNTB, pelapor menceritakan awal mula peristiwa dugaan persetubuhan itu terjadi pada tahun 2017.
“Pada saat itu, kondisi di ponpes, terlapor (AF) memanggil santriwati untuk melakukan ritual memasukkan lafadz ke badan santriwati,” kata pelapor sebagaimana dikutip PolitikaNTB.
Pelapor awalnya dibangunkan oleh kakak kelas pelapor inisial H, tengah malam. H mengatakan bahwa pelapor dipanggil oleh ustadz, yakni AF. Pelapor kemudian pergi ke tempat yang diperintahkan. Yakni di dekat kamar mandi santriwati.
Selain pelapor, di sana juga telah ada santriwati lain yakni I dan Y. Termasuk juga H, yang diperintahkan ustadz AF untuk mengumpulkan santriwati.
Di ruangan yang telah ditentukan, AF meminta para santriwatinya untuk masuk menemuinya satu persatu. Ketika giliran pelapor, pelapor diminta duduk di depan AF dengan posisi badan membelakangi AF.
AF kemudian meraba punggung hingga ke bagian dada pelapor, hingga ke bagian kemaluan. Tak berhenti di sana, AF meminta pelapor untuk mengambil posisi tidur.
Pelapor juga turut diarahkan oleh H untuk mengikuti perintah AF. Pelapor mengambil posisi seperti perempuan melahirkan.
“Kemudian terlapor kembali melakukan perbuatan seperti di atas, sambil seolah-olah membaca do’a,” jelasnya.
Selang beberapa tahun, tepatnya saat pelapor menginjak kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat, pelapor kembali dipanggil oleh AF. Kali ini, AF sendiri yang membangunkan pelapor. Pelapor diminta datang ke bangunan labolatorium.
Peristiwa yang sama, kembali dilakukan AF. Namun, kali ini, AF diduga menyetubuhi pelapor.
Usai peristiwa itu, pelapor kemudian menangis. Pelapor berinisiatif menceritakan pengalamannya ke temannya, santriwati lain berinisial P. Namun ternyata, P juga adalah korban AF. P mengaku telah mendapatkan perlakuan yang sama.
Tak berhenti di sana, AF kembali memanggil pelapor. Peristiwa yang sama pun kembali dilakulan AF. Saat itu, pelapor bertanya ke AF. “Ini nggak apa-apa ustadz?” kata pelapor.
Sang ustadz alias AF, menjelaskan bahwa perlakuan tersebut semata-mata dilakukan untuk mempermudah pelapor mendapatkan ilmu di ponpes.
“Tidak apa-apa, ini semua supaya kamu mendapatkan ilmu haq,” kata pelapor menirukan kalimat AF.
Informasi yang dihimpun PolitikaNTB, korban AF diduga sebanyak puluhan santriwati.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram, Joko Jumadi mengatakan hari ini ada delapan korban yang pernah menjadi santriwati diperiksa baik dalam status sebagai korban dan saksi.
“Hari ini total delapan korban diperiksa. Semuanya (status) korban dan saksi,” ujar Joko di Polresta Mataram.
Ada indikasi sebanyak 22 korban yang mengalami pelecehan seksual oleh pelaku saat mengenyam pendidikan di Ponpes tersebut.
“Totalnya ada 22 korban,” ujarnya.
Uniknya kata Joko, para korban yang kini bertstatus alumni tersebut memberanikan diri melaporkan pelaku usai menonton serial Malaysia berjudul ‘Bidaah’ dengan tokoh yang viral bernama Walid.
“Mereka terinspirasi dari serial Bidaah itu dan memberanikan diri melapor. Karena ada kesamaan modus di serial dengan yang dialami,” kata dia.
Modus yang digunakan pelaku dengan mengiming-iming korban keberkahan dalam rahim. Jika para korban mau berhubungan dengan pelaku, maka korban dijanjikan kelak akan melahirkan anak menjadi seorang wali atau ulama.
“Modusnya pelaku menjanjikan keberkahan dalam rahim. Supaya seorang anak dari korban kelak menjadi wali,” kata dia.
Dalam kasus tersebut ada dua laporan polisi terpisah, yaitu laporan kasus pencabulan dan kasus persetubuhan.
AF telah memenuhi panggilan kepolisian. “Terduga (AF) sudah menghadiri panggilan kepolisian dan koperatif sebagai warga negara yg baik,” kata Kuasa Hukum AF, Apriadi Abdi Negara kepada PolitikaNTB pada Senin (21/4/2025).
Abdi menerangkan, kliennnya menyerahkan seluruh proses hukum kepada aparat. “Sepenuhnya kami serahkan ke kepolisian soal proses hukum,” bebernya.
Abdi enggan berkomentar lebih jauh perihal pelaporan kepada kliennya. Ia juga tak merespons informasi AF telah ditahan Polresta Mataram.
“Silakan tanya ke kepolisian. Intinya sudah diperiksa hari ini,” ujarnya.