MATARAM – DPRD bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kelola (SOTK) yang di dalamnya terdapat perampingan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Dalam pembahasan itu, DPRD mempertanyakan kejelasan nasib ratusan pejabat eselon yang terdampak rencana perampingan tersebut.
Ketua Komisi I DPRD NTB Bidang Politik dan Pemerintahan, Muhammad Akri, menyatakan bahwa pihaknya belum menerima kajian rasional maupun data memadai dari eksekutif terkait dampak kebijakan itu terhadap struktur birokrasi.
“Spirit dari ranperda ini adalah efisiensi dan perampingan OPD. Maka kami minta gubernur melalui sekda menyajikan matriks rasionalisasi yang jelas. OPD mana saja yang efisiensinya paling besar,” ujar politisi PPP itu dalam keterangan yang diterima PolitikaNTB.
Menurut data sementara, rencana penggabungan dan perampingan OPD akan berdampak pada sedikitnya 11 pejabat eselon II, 30 pejabat eselon III, dan 70 pejabat eselon IV.
Sekretaris DPW PPP NTB itu pun mempertanyakan skema penempatan ulang bagi pejabat-pejabat tersebut. Apakah pejabat eselon IV akan tetap difungsikan atau justru dihapus? Lalu bagaimana penempatan ulang untuk pejabat eselon II?
“Ini harus dijelaskan sebelum kami bisa membuat keputusan,” tegas Akri, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pansus IV pembahasan Ranperda Restrukturisasi OPD.
Ia mengakui, pembahasan tidak hanya menyangkut penempatan pejabat, tetapi juga mencakup perdebatan internal pansus terkait usulan penggabungan sejumlah dinas. Salah satu yang menuai perdebatan adalah usulan penggabungan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) dengan Dinas Pendidikan, yang dinilai tidak relevan secara fungsi oleh sejumlah anggota dewan.
“Penggabungan OPD seperti Dispora dengan Dinas Pendidikan masih jadi perdebatan. Belum ada keputusan final,” terangnya.
Sorotan lainnya tertuju pada usulan penggabungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dengan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim).
Dewan mempertanyakan efektivitas penggabungan tersebut, terutama terkait potensi peningkatan beban kerja. “Kalau dua dinas ini digabung, lalu apa nama dinas barunya? Apakah tetap PUPR, atau jadi Penataan Ruang dan Perumahan?” imbuhnya.
Ia menilai, penggabungan itu justru bisa menyebabkan penggemukan beban kerja. Misalnya, jika proyek bernilai miliaran rupiah hanya ditangani satu kepala bidang (Kabid), dikhawatirkan pelaksanaannya tidak akan optimal.
“Kalau satu Kabid harus mengurus proyek sampai seribu miliar, apakah bisa selesai cepat? Ini kan jadi pertanyaan,” ujarnya.
Oleh karena itu, DPRD NTB menegaskan akan terus mendalami Ranperda Perampingan OPD yang diajukan Pemprov, sembari mendesak agar data yang diberikan lebih komprehensif, detail, dan menyeluruh.
“Sehingga keputusan yang kami buat bisa lebih objektif dan akuntabel,” tandasnya.