๐๐๐ง๐ ๐๐๐ซ๐ญ๐ข๐ง๐ ๐ ๐๐ฅ, ๐๐๐ซ๐ฅ๐๐ฆ๐ฉ๐๐ซ, ๐๐๐ง ๐๐๐ซ๐ก๐๐ฆ๐ฉ๐๐ฌ
Oleh: Dosen Universitas Mataram; Analis Wacana Kritis; Saat ini, kuliah doktoral di bidang Linguistik FIB UI, menulis riset tentang ujaran kebencian dalam wacana politik di Indonesia.
Maret 2022, jauh sebelum pemilu, didorong oleh big data atau dataraya, seorang menteri yang penuh wibawa mencoba sebuah rumus ganjil dalam demokrasi, menunda pemulu, atau akan ada perpanjangan masa waktu. Rencana yang barangkali oleh Trump pun tak berani ia impikan. Kampanye ini bukan hanya melibatkan dirinya dan juga beberapa orang pemerintahan, ada di paling depan pada isu ini adalah Muhammad Qodari, seorang juru survei bermazhab projo. Dan tentu juga projo itu sendiri. Qodari bahkan ingin menggenapkan. Baginya, dua peridoe terlalu singkat, tiga periode saja; untuk kepentingan bangsa, apa salahnya? Rencana ini keburu menemukan jalan buntu sebelum bisa lolos dari pandangan kitaโyang mudah lelapโmenjadi semacam kenyataan aneh yang dijumpai ketika bangun pagi.
Dataraya entah terkubur di mana di alam raya. Tapi, untuk kepentingan bangsa, sebaiknya pemilu ditunda saja. Tak butuh waktu lama, rencana ini sayup-sayup berlalu seperti bunyi seruling dari orang kesepian. Tak ada kegentingan yang dapat memaksakan penundaan seperti diatur undang-undang. Tapi, apa salahnya dicoba, siapa tahu? Akhir 2022, ide kreatif muncul dari Partai Prima yang tidak lolos pemilu, sebuah gugatan dilayangkan ke pengadilan, pemilu harus ditunda sebab, katanya, KPU melakukan perbuatan melawan hukum. Maret 2023, dengan gagah atau mungkin sedikit gegabah, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan berwenang mengadili perkara itu, dan juga mengabulkan permintaan Partai Prima. Tok, pemilu ditunda. Tentu, penundaan ini hanya dapat dieksekusi cukup sampai ketukan ketiga bunyi palunya, tak jauh dari itu.
Tentang semua itu, apakah Jokowi mau?, kita tidak tahu; apakah Jokowi tahu?, siapa yang tahu? Tapi, kalau tidak ada penundaan dan perpanjangan masa waktu, bagaiman dengan nasib bangsa kita? Mencari yang tepat dari 278 juta anak bangsa untuk melanjutkan itu sulit, Bung. Tapi, tunggu dulu. Ahaiโฆ! Cawe-cawe. Jangan curiga dulu; apa salahnya cawe-cawe โuntuk kepentingan bangsa?โ November 2022, dari atas podium Gelora Bung Karno, kepada para relawan yang pantang pulang, Jokowi memberikan isyarat langit, pemimpin masa depan kita berambut putih atau berwajah berkerut. Tak ada dalam bayangannya ciri lainโmisalnya berambut keriting. Di tangan kedua orang itu, masa depan bangsa dapat dilanjutkan.
Maklumat itu dapat menjadi berkah, dapat juga menjadi musibah. Berkah karena semua orang menunggu restu darinya. Musibah karena Jokowi hanya satu orang dan tubuhnya tidak bisa dibelah. Musibah juga karena tentu orang tidak bisa memilih dua orang sekaligus, walaupun itu kandidat kuat isyarat langit. Dan di timbangan sebelah mana kaki Jokowi paling kuat berdiri? Tak ada yang tahu. Adian Napitapulu pun masih ragu dan mengaku-ngaku. Bahkan, anaknya sendiri tak pandai membaca gestur Bapaknya. Suatu ketika, Kaesang mengenakan kaus bergambar Prabowo, orang-orang pun segera mengambil kesimpulan, Prabowolah pemimpin kita. Besok pagi, Gibran mengaku, Kaesang hanya mengidolakan, tidak mendukung. Hari lain, Gibran bertemu Prabowo. Besok paginya, ia dipanggil Hasto, Gibran pun mengaku, ia hanya pemain kemarin sore. Dan, seperti anak kemarin sore, ia kembali pulang ke kandang banteng. Gibran, orang pertama yang terlempar dari pendulum yang diayunkan Bapaknya.
Jokowi sudah jauh keliling, Megawati diam-bergeming. Arus deras menyebut Ganjar, dewan kolonel menyebut Puan. Lamanya kepastian itu menyebabkan satu mazhab Projo di bawah pasukan Immanuel Ebenezer segera gulung tikar, dari yang tadinya pertama mendukung Ganjar lalu minggat mengejar Prabowo. Alasan bisa diatur kemudian; katanya, Ganjar hanya pandai bermain TikTok, tapi mungkin Immanuel juga tidak dapat melihat masa depan. Satu lagi โsayap PDIPโ terlempar.
Maret 2023, di suatu tempat, di dekat pematang, di tengah sawah yang padinya siap dipanen, Jokowi, Prabowo, dan Ganjar berfoto dengan gaya pahlawan swasembada beras anti impor. Tak lama, Golkar, PAN, dan PPP meluncur ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) untuk membentuk koalisi besar. Satu koalisi yang sudah terbentuk lama, yang bernama Koalisi Bersatu, langsung tumbang. Padahal, konon, sebagaimana pengakuan Airlangga Hartarto, dulu, koalisi itu sudah mendapatkan restu. Tapi, mereka terlempar karena pendulum itu terlalu keras memutar kiri-kanan.
Hampir saja PDIP bakal kehilangan pegangan andaikan Ganjar hilang. Tapi, Megawati bukan politisi setengah matang. Tanpa diduga, Megawati, yang barangkali sudah melihat gelagat Ganjar bakal diambil orang, segera membuat kesimpulan di ujung bulan Ramadhan, Ganjarlah calon presiden besutan PDIP, bukan Puanโsi anak kesayangan. Seiring gelar profesornya yang mentereng, yang diterimanya dari berbagai universitas, kematangan Megawati tidak dapat dimakan oleh usianya. Ia tahu titik krusial dari sebuah momentum. Sekarang atau tidak sama sekali. Mulai saat itu, dewan kolonel tak pernah kedengaranโkegentingan macam apa yang bakal dirapatkan kemudian. Tapi, harga untuk itu tidak mudah, termasuk bagi Ganjar sendiri, ia harus melewati satu fase ujian yang berat: mau tolak timnas Israel atau tidak?
Mendengar kabar Ganjar sudah kembali ke tangan Megawati, Koalisi Indonesia Bersatu kembali bersatu, tapi tidak lagi di markas KKIR; mereka kocar-kacir dan berpikir ulang. Namun, pertemuan kembali itu tidak berlangsung lama, PPP langsung minggat dan menyatakan bersatu dengan PDIP. Yang tertinggal hanya Golkar dan PAN. Persoalannya, tak satu pun di antara mereka yang punya kader yang menjanjikan. Golkar hanya punya Airlangga, tapi angka surveinya cukup menakutkan untuk diterobos. Sedangkan PAN, hanya punya pemain โnaturalisasiโ yang di-NU-kan: Erick Thohir. Setidaknya, setelah Amien Rais hilang, PAN bisa melenggang kiri-kanan, tak peduli pendulum melaju dengan kencang.
Waktu terus berjalan, Jokowi belum menentukan pilihan. Walau demikian, PSI yang paling depan berhadapan dengan Prabowo pada pemilu 2019 menyatakan sikap mendukung Prabowo. Sebagaimana yang dikatakan oleh Grace Natalie, PSI sudah mendapatkan restu. PSI terlempar cukup jauh, mulai dari Giring Ganesha, bakal calon presidennya sendiri (yang mundur sebelum waktunya), hingga Ade Armando, pejuang kita. Ade Armando, โpejuang HAMโ kita dan juga โpejuang antiradikalismeโ kita itu menyebut PSI diludahi oleh PDIP, makanya ia lebih baik menemui Prabowo. Satu pesan moral mungkin bisa dipetik di sini, jika tidak ingin melihat pahlawan berhenti berjuang, jangan ludahi dia.
Lain gaya Ade Armando, lain gaya Grace Natalie. Grace pun tidak mau ketinggalan, ia segera mencari alasan yang terlihat paling terang dan masuk akal. Kata Garce, Prabowo menyesal pernah dekat dengan kaum radikal. Tinggal satu โpahlawan antiradikalโ dan โpejuang HAMโ kita yang masih tertinggal, Guntur Romli. Ia yang tertinggal sendirian oleh teman-temannya sesama pengobar โantiradikalismeโ terus bergumam-gumam, pokoknya Prabowo pelanggar HAM dan didukung kaum radikal.
Sampai di sini, kita masih belum tahu ke mana arah semilir angin cawe-cawe ini berhembus, BMKG pun barangkali tak mampu menembus jejaknya. Namun, mereka yang masih menikmati buaian itu dapat terlempar kapan saja, dapat terhempas kapan saja. Yang terlempar paling jauh dari ayunan ini adalah Budiman Sudjatmiko. Kandas jadi anggota legislatif pada Pemilu 2019 barangkali membuatnya cukup terpukul. Ia pun punya proyek Silicon Valley bernama bukit algoritma yang tak kunjung jadi. Ia juga mengaku pernah ditawar jadi menteri berkali-kali, tapi tidak jadi.
Pada 2014 dan 2019, Budiman Sjatmiko adalah juru kampanye paling depan dan paling garang. Aktivis gemblengan Orde Baru itu selalu menikmati momen ketika ia harus bicara tentang Prabowo. Caci makinya yang tak tertahankan juga masih tersimpan dengan rapi di laci digital. Dari menyebut Prabowo sebagai kucing anggora hingga kata-kata yang tak pernah terbayangkan. Namun, jika kau pernah senekat itu dan pada akhirnya tak mendapatkan apa apa, ya apa boleh buat. Bukankah orang yang paling ia musuhi pada masa kampanye, menjadi orang yang paling depan yang duduk di kursi empuk kekuasaan? ๐๐ฐ, ๐ฏ๐ฐ๐ต๐ฉ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ด๐ฐ๐ฏ๐ข๐ญ, ๐๐ข๐ฃ๐บ; jangan terlalu baper!
Ya, Budiman Sudjatmiko mungkin sudah tak punya apa-apa. Semuanya selesai dan mati. Tapi, di luar itu, satu yang tak mati darinyaโinsting politik yang disemai sejak Orde Baru. Sekelas dia, tak mungkin ia tidak tahu ke mana arah angin berhembus. Apalagi, banyak gerilyawan di dalam perahu Prabowo. Di antaranya adalah gerilyawan PSI yang mencari jalan konstitusi. Bagi PSI, syarat minimal usia wakil presiden harus dikocok ulang, bukan lagi minimal 40 tahun, tapi 35 tahun. Mungkin PSI melihat Gibran hari ini cukup matang untuk urusan cawapres, apalagi ia pernah memimpin di sebuah kota.
Jadi, pilihan Budiman sungguh budiman. Ia mudah memaafkan dan melupakan. Dari lawan yang sama-sama dibesarkan zaman, menjadi kawan yang sama-sama ditiup angin kencang. Persoalannya, bukankah syarat untuk memilih Prabowo, pertama-tama, harus menjadi orang bodoh, seperti yang pernah ia sampaikan di masa-masa romantisme perjuangan itu? Budiman tentu bukan orang bodoh, karena itu ia membuat alasan yang cukup pintar. Saat ini, dunia tengah menghadapi kegentingan politik, karena itu, kita butuh kepemimpinan strategik. Yah, kita butuh pemimpin strategik, karana itu itu, asupan pangan harus tetap terjaga di jalur ๐ง๐ฐ๐ฐ๐ฅ ๐ฆ๐ด๐ต๐ข๐ต๐ฆ. Jangan Kau salah sangka, ๐๐ข๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฅ! Jika Kau belah dada Budiman, maka Kau akan temukan darah Soekarno, dan mungkin becampur darah Marx dan Lenin.
Kali ini, perahu Prabowo makin stabil, amunisinya makin bertambah. Dari gerilyawan konstitusi hingga veteran perang yang berbalik arah. Melihat kenyataan itu, Hasto pun mulai berang. Tak lama kemudian, Budiman Sudjatmiko dipecat, Prabowo dihujat. Kata Hasto, program ๐ง๐ฐ๐ฐ๐ฅ ๐ฆ๐ด๐ต๐ข๐ต๐ฆ adalah kejahatan lingkungan. Mungkin ia terlambat menonton film Kinipan, hingga ia pun terlambat mengungkapkan perasaannya yang pedih ituโbahwa itu kejahatan. Hasto lupa, peluru yang ia tembakkan itu dapat menyasar ke sembarang orang, bahkan peluru itu bisa tembus ke jantung Presiden.
Jadi, sebaiknya Hasto segera meralat ucapannya, dan mengatakan ๐ง๐ฐ๐ฐ๐ฅ ๐ฆ๐ด๐ต๐ข๐ต๐ฆ perlu dilanjutkan, sebagaimana yang ia sampaikan satu tahun sebelumnya. Benar saja, Hasto segera kembali berubah pikiran. Mungkin karena itu, atau mungkin karena mendengar kabar pulangnya Mas Masiku, kita kurang tahu. Yang pasti, kalau pelurunya kena Presiden, kemudian presiden mengatakan kita dukung Prabowo, maka bencana sudah di depan mata. Tapi, apa pun itu, kalau Kau pernah keliru, maka ingat saja satu mantraโโlanjutkanโ. Seperti kata Menteri Kominfo, Budi Arie, jika kalah pemulu, semua akan masuk penjara. Kata Rocky Gerung, semua orang ingin masuk ke kamar pengantin karena takut tidur di kamar tahanan.
Tapi, bagaimana kalau Jokowi benar-benar ke Prabowo dan menempatkan anaknya di dalam perahu itu? Ini adalah kabar maut bagi PDIP, tapi berkah Bagi Prabowo. Oh, berkah yang sangat indah. Semua kekuatan sudah berangsur-angsur menumpuk ke sana. Apalagi sekarang, Golkar dan PAN sudah kembali menemukan jalan pulang. Sayangnya, Prabowo masih merasa belum cukup; kekalahan bertubu-tubi membuat ia sangat hati-hati. Di satu sisi, ia merasa pengantin lama yang ia sunting pertama kali kurang elok diajak berbulan maduโMuhaimin Iskandar. PKB memang memikat, tapi Muhaimin, rasa-rasanya, ya, masih berat.
Merasa sudah di atas angin, dan hendak mencoba untuk mengerahkan semua kekuatan yang ada, Prabowo makin lupa daratan. Ia ingin semua, tapi tak ingin berbagi. Pengantin lamanya masih menunggu saat-saat bulan madu, tapi calon pasangan pengantin barunya rupanya lebih bersuara merdu. Selain moncer di atas angin, jumlah amunisi yang disimpan oleh oleh Erick Thohir, adalah masa depan yang menjanjikan. Ia pun segera mengubah nama koalisinya, dari KKIR menjadi Koalisi Maju. Ingat!, โmajuโ masih masih bisa disebut bersinonim dengan โlanjutkanโ. Persoalannya, bagaimana cara terus merawat pohon PKB dengan cara mengusir Muhaimin dari sarang?
Satu hal yang Praboro lupa, seperti kata orang-orang, Muhaimin itu kancil. Ia bisa muncul di sini, bisa juga muncul di sini, atau di situ. Di tengah-tengah Prabowo yang tenggelam oleh rasa kebesaran hati yang begitu rupa, Muhaimin diam-diam menyelinap begitu lihai. Ia bertemu dengan sang ๐๐ข๐ด๐ต๐ฆ๐ณ๐ฎ๐ช๐ฏ๐ฅ yang juga tak terbaca radarโSurya Paloh. Seperti ๐๐ฉ๐ฆ ๐๐ฏ๐ต๐ช๐ต๐บ, senjata AI yang dapat membelot dari tangan penciptanya, yang telah lama tenggelam di dasar laut perairan Rusia dalam film laga dibintangi Tom Cruise, Muhaimin dan Paloh adalah Koentji; secara ajaib, mereka bergerak seperti hantu.
Tanpa tedeng aling-aling, dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam setelah pertemuan itu, Muhaimin keluar dari jebakan psikologis ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐๐ณ๐ฆ๐ด๐ช๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐ต’๐ด ๐ฎ๐ฆ๐ฏ. Menjemput jodoh tidak harus mendapat restu orang tua, ini bukan drama Siti Nurbaya, dan Anies adalah teman masa lalu dia. Mereka berdua, dengan sangat mengejutkan, menjadi pasangan pertama yang mendeklarasikan diri sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Jokowi dan Prabowo boleh berpikir bisa mengendalikan keadaan. Tapi, dalam legenda lama, kita sering mendengar kabar dari nenek moyang, di tangan kancil, buaya juga bisa dikadalin.
Yang paling terhempas dari semua itu adalah Demokrat dan juga Bapak Pembinanya. Mereka yang semula merasa berada di atas angin, dan hendak mengancam-ancam mau keluar barisan kalau bukan AHY, hanya dapat menatap kepergian Anies dengan penuh tangis. Ya, kenapa Anies begitu kejam? Luka yang ditinggalkan cukup dalam. Sepuluh tahun Demokrat harus berpuasa, dan satu-persatu para elit-elitnya meninggalkannya. Kini, SBY pun merasa tertipu. Lama keluar dari gelanggang pertandingan dapat menyebabkan instingnya tidak lagi tajam. Ia merasa hari bagi anaknya sudah sangat dekat, tapi kenyataan yang diterimanya menyerupai hari kiamat.
Tapi, bagaimana cara Demokrat harus diberi tahu? Kalau Demokrat tahu, Surya Paloh dan Muhaimin tak dapat bergerak seperti hantu. Langkanya sudah pasti langsung dihantam torpedo. Ingat Khofifah Indar Parawansa, ruangannya digeledah, ia pun berbalik arah; Ingat Airlangga Hartarto, duduk berlama-lama di kursi pesakitan, ia pun berubah pikiran. Pada saat yang sama, strategi itu memberikan petunjuk yang jelas bagi lawan untuk berhati-hati. Karena itu, jika Demokrat tahu, dan langsung mengamuk begitu rupa seperti kesurupan, kaki Muhaimin bisa saja dihantam torpedo dan lumpuh seketika saat itu juga. Muhaimin tak dapat apa-apa, Nasedem juga bakal sangat kecewa sekali pada Demokrat. Pada akhirnya, koalisi perubahan akan bubar sebelum bisa mengubah apa-apa. Bukankah setelah itu, kasus Muhaimin yang sudah diparkir selama tiga belas tahun sejak 2012 langsung keluar dari garasi KPK?
Masih terhentak oleh kenyataan yang tidak ia pahami sepenuhnya, antara mengerti dan tidak mengerti, SBY coba menduga-duga setengah mati. Oh ya, Ini pasti ada ๐๐ข๐ด๐ต๐ฆ๐ณ๐ฎ๐ช๐ฏ๐ฅ-nya, tapi siapa, dan duduk di bangku sebelah mana? Ia mungkin sudah lama tidak baca berita, tokoh utama kita berkata secara terbuka, kewenangan koalisi ada di Parpol. Bahwa Sandiaga terpental dari Gerindra paling taat ke partai bergambar kiblat untuk mencari siasat, itu kan urusan dia.
Jadi, politik โsopan-santunโ gaya SBY sudah kurang kompatibel dipakai untuk hari ini. Mungkin, di masa tuanya, insting seninya jauh lebih menonjol dari insting politiknya. Tapi, kan politik itu juga seni, seni kemungkinan, estetika dan etika tak harus jelas bedanya. Sayang sekali, ia belum sempat cawe-cawe saat AHY dan Ibas menjadi putra mahkota paling didamba. Instingnya terlalu naif, sedangkan anaknya masih punya pengalaman sedikit. Kini, ia berdecak dengan pahit.
Dan orang Demokrat masih merasa dikhianati. Mereka pun membanting kompasโdari yang teguh di jalan perubahan, menjadi yang paling cepat berubah pikiran. Mungkin, hari ini SBY juga penuh dengan kabut penyesalan. Seandainya dulu ia pernah mendengar ada istilah cawe-cawe, nasib anak-anaknya tidak akan seburuk ini. Ya, dalam politik, nasib dia, anak-anaknya, atau menantunya, itu sangat penting, sebab harganya juga masih dibilang cukup sebanding; kalau tidak ada yang tertinggal, pasti ada yang terlempar atau terhempas ke dinding.