Politik

IKADIN Gelar Rakernas ke-40 di NTB, Mengawal UU Advokat di Era KUHP dan KUHAP Baru

LOMBOK BARAT, PolitikaNTB – Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-40 di Nusa Tenggara Barat, yang sekaligus menjadi momentum peringatan ulang tahun organisasi ke-43. Kegiatan ini dibuka dengan berbagai sambutan dari pejabat daerah dan pusat, serta menghadirkan diskusi panel bertema “Wajah Penegakan Hukum Pasca KUHP dan Rencana KUHAP Baru” di Hotel Aruna , Senggigi – Lombok Barat, Jumat 12 Desember 2025

Ketua IKADIN NTB, Dr. Irpan Suriadiata, menyatakan bahwa Rakernas kali ini menjadi ajang strategis untuk mengawal Undang-Undang Advokat di tengah perubahan besar sistem hukum pidana Indonesia setelah pengesahan KUHP baru. Menurutnya, pembahasan ini merupakan kelanjutan dari Rakernas Nasional IKADIN di Bali, dengan fokus pada penguatan peran advokat dalam menghadapi norma hukum yang baru.

“Penguatan hak-hak tersangka atau terdakwa, pendampingan sejak tahap penyelidikan, peran advokat dalam keadilan restoratif, serta mekanisme peradilan yang lebih luas menjadi poin krusial yang harus kita kawal bersama,” ujar Irpan.

Kejati NTB, Wahyudi

Kepala Kejaksaan Tinggi NTB, Wahyudi, dalam sambutannya menekankan pentingnya sinergi antara jaksa dan advokat di era transisi hukum ini. Ia menyebut pengesahan KUHP baru sebagai tonggak monumental yang mengakhiri warisan hukum kolonial Belanda, namun sekaligus membawa tantangan besar dalam penerapan konsep restorative justice dan living law.

“Perubahan ini menuntut adaptasi cepat agar kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat tidak terganggu. Dalam penegakan hukum, jaksa mewakili negara, sedangkan advokat memastikan perlindungan hak tersangka atau terdakwa. Sinergi menjadi kunci,” jelas Wahyudi.

Biro Hukum Setda NTB, Hubaidi

Sementara itu, Gubernur NTB yang diwakili Kepala Biro Hukum Setda NTB, Dr. Hubaidi, resmi membuka kegiatan dan berharap forum ini menjadi ruang konstruktif untuk memperkuat reformasi hukum.

“Penerapan KUHP dan KUHAP baru harus berjalan efektif, humanis, serta selaras dengan nilai keadilan dan HAM. Kami berharap kolaborasi antara advokat, pemerintah, dan aparat penegak hukum di NTB dapat memperluas akses bantuan hukum dan meningkatkan literasi hukum masyarakat,” ujarnya.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman

Rakernas kali ini juga dihadiri Ketua Komisi III DPR RI melalui zoom meeting, Dr. Habiburokhman, yang memaparkan perjalanan panjang pembentukan KUHP dan KUHAP baru. Ia menyoroti perlunya penguatan posisi advokat sebagai bagian dari pemberdayaan warga negara dalam mengawasi institusi penegak hukum.

“Daripada membentuk lembaga pengawas baru, lebih baik memperkuat advokat agar warga negara memiliki daya tahan hukum yang kuat. Di KUHAP baru, kami mengupayakan imunitas advokat dalam menjalankan tugas profesionalnya,” ungkapnya.

Diskusi panel di Rakernas IKADIN ke-40 diharapkan menghasilkan rekomendasi konstruktif untuk implementasi KUHP dan KUHAP baru secara efektif di lapangan, demi terwujudnya sistem hukum yang berkeadilan, humanis, serta sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia.

Ketua Umum IKADIN, Maqdir Ismail

Dalam diskusi panel Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Dr. Maqdir Ismail, menekankan perlunya pengawalan ketat terhadap penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, khususnya terkait pembuktian, penyadapan, dan proses penyerahan berkas perkara. Hal tersebut disampaikan dalam diskusi pada Rapat Kerja Nasional IKADIN ke-40.

Menurut Maqdir, KUHP baru harus memastikan bahwa alat bukti yang digunakan dalam penetapan tersangka memiliki relevansi dan substansi yang kuat terhadap pasal yang disangkakan. Ia mengkritisi praktik di lapangan yang kadang hanya mengandalkan dua alat bukti tanpa memastikan bukti tersebut benar-benar berkaitan dengan unsur tindak pidana yang dituduhkan.

Sebagai contoh, ia menyoroti kasus yang berkaitan dengan dugaan kerugian keuangan negara. Berdasarkan peraturan, pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang-Undang Tipikor mensyaratkan adanya hasil penghitungan kerugian negara oleh lembaga berwenang. Namun, dalam praktiknya, pernah terjadi penetapan tersangka tanpa adanya penghitungan tersebut.

“Jangan sampai perkara yang mengandung dugaan kerugian keuangan negara hanya didasarkan pada keterangan saksi dan ahli yang menyebut adanya potensi kerugian, tanpa perhitungan resmi,” ujar Maqdir. Ia mencontohkan kasus ASDP yang menurutnya perlu menjadi perhatian serius.

Selain masalah bukti, Maqdir juga menyoroti prosedur penyadapan. Ia berpendapat, penyadapan seharusnya dilakukan terhadap orang yang sudah berstatus tersangka, bukan terhadap pihak yang belum memiliki keterkaitan jelas. Ia mengingatkan bahwa ada kasus di mana seseorang dijerat akibat percakapan yang dipantau sejak sebelum ia mengenal pihak yang terlibat.

“Kalau penyadapan dilakukan sebelum ada status hukum yang jelas, rawan terjadi salah tangkap dan kesalahpahaman,” tegasnya.

Poin lain yang disampaikan adalah mekanisme pelimpahan berkas perkara. Maqdir berpendapat bahwa berkas perkara seharusnya tidak dilimpahkan ke penuntut umum atau pengadilan ketika proses praperadilan sedang berlangsung. Ia mencontohkan pengalaman dalam satu perkara, di mana berkas dilimpahkan segera oleh KPK untuk mempercepat proses persidangan, sehingga mengabaikan proses praperadilan yang sedang berjalan.

Dr. Maqdir Ismail, menegaskan perlunya para advokat mempersiapkan diri menghadapi perubahan besar dalam sistem hukum Indonesia, seiring diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru.

Dalam pernyataannya, Maqdir menyebut bahwa Indonesia akhirnya memiliki KUHP baru yang menggantikan KUHP warisan kolonial Belanda tahun 1926.

“KUHP lama kita berasal dari era kolonial. Baru sekarang kita memiliki produk hukum pidana yang disusun sendiri. KUHAP yang berlaku sejak 1981 juga kini mengalami perubahan,” ujarnya.

Menurut Maqdir, salah satu poin penting dalam KUHAP yang baru adalah pengakuan terhadap hak-hak advokat, termasuk hak untuk mendampingi tersangka sejak tahap penyelidikan, bahkan mendampingi saksi. Namun ia mengingatkan adanya potensi persoalan terkait pasal obstruction of justice yang bisa menjadi “hantu” bagi advokat ketika pendampingan dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap aparat penegak hukum.

“Undang-undang memang sudah mengakomodir kewenangan advokat, tetapi yang kita perlukan adalah komitmen dan penghormatan dari aparat penegak hukum agar hak-hak tersebut benar-benar dijalankan,” tegasnya.

Maqdir juga menyoroti adanya pendekatan baru dalam KUHP, seperti ketentuan bahwa pelaku berusia di atas 75 tahun tidak dikenai hukuman badan, melainkan hukuman denda. Ia menekankan bahwa tujuan hukum pidana bukan semata-mata untuk efek jera, melainkan untuk menegakkan keadilan.

Lebih lanjut, ia memuji diterapkannya prinsip restorative justice dalam KUHP baru, yang mengedepankan penyelesaian perkara di luar pengadilan jika memungkinkan.

“Pidana itu harus menjadi ultima ratio, atau jalan terakhir. Tidak semua kasus harus berakhir di pengadilan,” katanya.

Menutup pernyataannya, Maqdir menegaskan bahwa tantangan ke depan adalah memastikan implementasi KUHP dan KUHAP baru berjalan sesuai semangat pembaruan hukum, serta menguji ketentuan yang dianggap tidak tepat ke Mahkamah Konstitusi.

“Perubahan ini adalah momentum bagi advokat dan penegak hukum untuk membangun sistem yang lebih adil, efektif, dan manusiawi,” pungkasnya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button