JAKARTA, PolitikaNTB – Isu agraria kembali menjadi sorotan dalam gelombang aksi massa yang berlangsung di Jakarta dan sejumlah daerah dalam dua bulan terakhir.
Ribuan orang dari berbagai latar belakang turun ke jalan, mulai dari mahasiswa, buruh, nelayan, hingga petani.
Mereka menyuarakan berbagai persoalan mendasar, termasuk pendidikan, kesehatan, korupsi, hingga konflik agraria yang masih menjadi akar ketimpangan sosial-ekonomi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia semakin nyata. Sebagian besar petani hanya memiliki lahan di bawah 0,5 hektare, sementara jumlah petani skala kecil terus meningkat.
BACA JUGA: Bupati Didesak Segera Terbitkan SHM Lahan Eks HGU di Karang Sidemen
Situasi ini berimbas langsung pada tingkat kemiskinan, terutama di pedesaan yang masih bergantung pada sektor pertanian.
Pada Maret 2024, 47,94 persen penduduk miskin ekstrem tercatat bekerja di sektor pertanian.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyinggung dominasi kelompok “serakahnomics”—yang terdiri dari oligarki, pihak asing, dan pejabat korup—dalam penguasaan lebih dari 50 persen sumber daya alam dan tanah di Indonesia. Kondisi tersebut dinilai memperburuk akses petani terhadap tanah dan air, serta memicu ketimpangan ekonomi.
Dalam menyikapi situasi ini, Serikat Tani Nelayan (STN) mendesak pemerintah segera melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.
Menurut STN, revisi mendesak dilakukan agar organisasi massa tani dapat dilibatkan secara resmi dalam Tim Percepatan Reforma Agraria Nasional, termasuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di daerah.
“Sangat tidak logis jika percepatan reforma agraria dilakukan tanpa melibatkan organisasi yang secara langsung memperjuangkan hak-hak agraria petani, yang telah terbukti aktif dalam menyelesaikan kasus konflik agraria,” tegas Ahmad Rifai, Ketua Umum Serikat Tani Nelayan (STN), Rabu, 1 Oktober 2025.
STN menyoroti bahwa hingga 2024, capaian redistribusi lahan reforma agraria baru mencapai 26 persen dari target nasional 9 juta hektare. Karena itu, keterlibatan organisasi tani dianggap krusial agar penyelesaian konflik lebih cepat, aspirasi petani terakomodasi, serta program reforma agraria berjalan inklusif dan progresif.
Selain itu, STN juga menilai komposisi Tim Percepatan Reforma Agraria Nasional saat ini belum ideal. Beberapa kementerian terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, belum dilibatkan secara penuh. Padahal, keterpaduan lintas sektor dinilai sangat penting untuk mendukung kedaulatan pangan dan keberlanjutan sumber daya alam.
Rifai menegaskan dukungannya terhadap langkah Presiden Prabowo untuk mengonsolidasikan persatuan nasional melalui reforma agraria.
“Reforma agraria yang konsisten, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, adalah langkah nyata menuju kemakmuran rakyat sebagaimana sila kelima Pancasila. Kami mendukung penuh kepemimpinan Presiden Prabowo untuk mengonsolidasikan persatuan nasional, dimulai dari lapangan agraria. Ini adalah syarat utama menjaga keamanan dan kesatuan nasional,” ujar Ahmad Rifai.
BACA JUGA: Imam Haramain Akhiri Tugas Sebagai Ketua APRI NTB, Dorong Pengelolaan Material Tambang Non-Emas
STN pun menyerukan agar seluruh elemen bangsa bersatu mendorong percepatan reforma agraria yang berkeadilan. “Bersama, kita wujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan rakyat Indonesia,” pungkas Rifai.