MATARAM, PolitikaNTB – Lomba Binaraga dan Fisik Indonesia pada ajang Festival Olahraga Masyarakat Nasional (Fornas) ke VIII tahun 2025 yang bertempat di Nusa Tenggara Barat (NTB) menuai sorotan publik.
Hal itu bermula dari beredarnya sejumlah video lomba binaraga yang menampilkan sejumlau perempuan berpakaian erotis pada Senin (28/7/2025). Diketahui, lomba binaraga untuk Inorga Perbafi digelar di Raja Hotel, Mandalika, Lombok Tengah.
Lomba tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya, datang dari Pimpinan Pondok Pesantren di NTB.
“Saya atas nama forum Pondok Pesantren tidak setuju lomba-lombar belombas yang tisak sesuai dengan identitas Lombok yang dikenal dengan 1000 masjid dan pada umumnya di NTB lebih dari 3000-an pondok-pondok pesantren merusak citra,” kata Anggota Forum Pondok Pesantren, Hj Masruri Aini.
BACA JUGA: Bandara Lombok Sambut Kedatangan Atlet Fornas dari Seluruh Indonesia
Mantan Wakil Ketua DPRD Lombok Timur itu menjelaskan, NTB dikenal luas sebagai Pulau Seribu Masjid—sebuah julukan yang tidak hanya menggambarkan banyaknya rumah ibadah, tetapi juga merepresentasikan karakter masyarakatnya yang religius, menjunjung nilai kesopanan, dan menjadikan etika sebagai fondasi dalam ruang publik.
Di tengah identitas kolektif tersebut, pelaksanaan lomba binaraga perempuan di Fornas yang menonjolkan sisi erotis patut dikritisi secara serius, tidak hanya dari sudut olahraga, tetapi juga dari perspektif budaya, moral, dan kehormatan sosial.
Lomba binaraga sejatinya adalah ajang untuk mengapresiasi ketekunan dan kedisiplinan dalam membentuk fisik. Namun, ketika ajang tersebut mengarah pada eksploitasi tubuh perempuan dengan kostum super minim, pose-pose sensual, serta sorotan visual yang menjurus pada erotisasi, maka esensi sportivitas itu memudar dan tergantikan oleh unsur komersialisasi tubuh.
“Di NTB, yang kental dengan nilai-nilai religius, hal semacam ini bukan hanya memicu kontroversi, tetapi juga mengusik kesadaran kolektif tentang batas antara prestasi dan eksploitasi,” bebernya.
“Tak bisa diabaikan bahwa ruang publik di NTB berada dalam kerangka norma sosial yang berakar kuat pada nilai Islam dan kearifan lokal. Tubuh perempuan yang dijadikan objek tontonan di panggung lomba bukan hanya berpotensi mengabaikan etika visual, tetapi juga mencederai rasa hormat masyarakat terhadap martabat perempuan,” paparnya.
BACA JUGA: Kontingen NTB Siap Berlaga di Fornas VIII 2025, Bakal Jadi Tuan Rumah yang Baik
Alih-alih memberdayakan, lomba semacam ini justru berpotensi menjerumuskan perempuan ke dalam ruang yang menormalisasi pemajangan tubuh sebagai instrumen hiburan yang dibalut kompetisi.
Lebih jauh, pelaksanaan lomba binaraga erotis di NTB juga menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah kita sedang membangun prestasi, atau tengah melemahkan identitas? Di tanah yang identik dengan spiritualitas dan moral kolektif, setiap acara publik seharusnya tunduk pada sensitivitas sosial dan kultural, bukan semata pada standar global yang seringkali tidak kontekstual.
“Ketika nilai-nilai lokal dikesampingkan atas nama modernitas atau hiburan, maka kita bukan sedang memajukan daerah, tetapi justru sedang mengikis akar kepribadian kolektifnya.
Kritik ini bukan bentuk pelarangan terhadap partisipasi perempuan dalam olahraga, tetapi ajakan untuk menempatkan kehormatan perempuan dan identitas daerah dalam posisi utama,” jelasnya.
Ada cara yang lebih bermartabat untuk menunjukkan kekuatan, dedikasi, dan pencapaian fisik, tanpa harus menggadaikan nilai estetika dan moral. Apalagi di NTB, di mana masjid-masjid berdiri di tiap sudut desa, dan suara azan menyatu dengan denyut kehidupan sehari-hari.
Sudah saatnya panitia dan pemangku kebijakan lebih bijak dalam menyaring jenis kegiatan yang digelar di ruang publik. Panggung olahraga harus jadi medan prestasi, bukan arena kompromi terhadap nilai dan martabat.