Pemerintahan

Jadi Masalah Tahunan, Asosiasi Peternak Keluhkan Pola Perdagangan Sapi Kurban NTB ke Jabodetabek

MATARAM – Asosiasi Peternak dan Pedagang Sapi Bima bersama Gabungan Pengusaha Hewan Nasional Indonesia (GAPEHANNI) Kabupaten Bima menyampaikan keluhannya perihal tata kelola perdagangan sapi jelang hari raya Idul Adha di NTB.

Mereka mendesak perbaikan tata kelola perdagangan sapi dari tingkat daerah hingga nasional. Desakan itu merupakan respons atas berulangnya masalah distribusi sapi menjelang Idul Adha 2025.

Sebagaimana diketahui, antrean truk-truk pengangkut sapi di Pelabuhan Gili Mas, Lembar, Lombok Barat beberapa waktu terakhir yang akan dikirim ke Jabodetabek untuk persiapan penjualan hewan qurban pada idul adha 2025 menyisakan kerugian.

Antrean terjadi berhari-hari mengakibatkan 17 ekor sapi mati karena kelelahan dan kepanasan. Nilai kerugiannya lebih dari 300 juta.

Ketua Asosiasi Peternak dan Pedagang Sapi Bima Furqan Sangiang, mengungkapkan bahwa antrean berhari-hari akibat krisis armada kapal membuat sapi kelelahan dan kepanasan. Meskipun saat ini antrean telah terurai. Namun kondisi serupa disebutnya terjadi hampir setiap tahun tanpa solusi nyata.

Terbatasnya jumlah kapal ternak menjadi akar persoalan. Furqan menyebut, untuk mengantisipasi lonjakan pengiriman sapi jelang Idul Adha, pemerintah perlu menambah minimal tiga kapal khusus ternak.

“Jika armada cukup, pengiriman akan lancar tanpa antrean panjang. Tidak ada korban,” kata Furqan.

Ia menambahkan, idealnya kapal-kapal tersebut berlayar langsung dari Pelabuhan Bima menuju Banyuwangi, tanpa harus transit di Lombok, guna menghindari tumpang tindih dengan kepentingan pariwisata.

Mereka juga menyoroti masalah birokrasi perizinan pengiriman sapi yang masih lamban dan tidak sinkron antar instansi.

“Perizinan harusnya cukup selesai di daerah asal dan langsung terintegrasi dengan pusat. Jangan berputar-putar lagi yang memakan waktu cukup lama. Sehingga peternak kehilangan momentum penjualan,” tukasnya.

Mereka mendesak pemerintah menerapkan sistem layanan satu pintu untuk mempercepat proses administrasi.

Proses uji PCR darah sapi juga dianggap memberatkan. Para peternak mengusulkan agar hasil PCR diperpanjang masa berlakunya minimal satu bulan, mengingat tujuan pengiriman adalah domestik, bukan ekspor.

“Penyederhanaan ini akan mempercepat arus distribusi dan mengurangi biaya tambahan,” jelasnya.

Di tempat yang sama, Ketua GAPEHANNI Kabupaten Bima, Muziburrahman, menceritakan, setiap tahun peternak Bima mengirim 15.000 hingga 16.000 ekor sapi ke Jabodetabek, dengan nilai ekonomi tahunan mencapai Rp270 miliar hingga Rp500 miliar.

“Namun kontribusi sebesar ini belum diimbangi dengan perhatian serius terhadap infrastruktur distribusi,” terang Muziburrahman.

Dua asosiasi peternak ini menyuarakan tuntutan. Presiden RI Prabowo Subianto, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perhubungan, hingga Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal untuk turun tangan memperbaiki sistem distribusi sapi nasional. Pemerintah diharapkan menambah armada kapal ternak yang layak dan memadai.

Pemda Bima dan Dompu duduk bersama asosiasi untuk menata tata kelola perdagangan sapi dari hulu ke hilir. Asosiasi meminta Gubernur NTB, Bupati Bima, dan Bupati Dompu untuk membangun kerja sama aktif dengan pemerintah daerah Jabodetabek guna memperlancar akses distribusi dan meningkatkan kapasitas pelabuhan.

Mereka juga mendesak diterbitkannya regulasi perlindungan peternak, termasuk skema asuransi atau kompensasi untuk ternak yang mati dalam proses distribusi. Sapi Bima sebagai bagian dari ketahanan pangan nasional. Sehingga melindungi peternak Bima berarti menjaga keberlanjutan pangan Indonesia.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button