DPRD NTB Minta Tarif Pajak Hiburan Dikaji Kembali
Mataram – Tarif pajak hiburan direncanakan akan naik sebesar 40-75 persen usai disahkannya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua Komisi II DPRD NTB Lalu Ahmad Yani, menilai kebijakan ini menciptakan kondisi yang dilematis bagi para pengusaha pariwisata bidang hiburan di daerah.
Menurutnya, jika terlalu kaku menerapkan aturan tanpa mempertimbangkan aspirasi pengusaha terkait, maka dikhawatirkan roda ekonomi pariwisata di NTB akan semakin lesu.
“Wajar saja kalau dia (pemerintah pusat) liat di Jakarta. Tapi kalau di sini (NTB) imbasnya seperti apa itu yang perlu kita liat, dampaknya seperti apa,” katanya, Kamis (25/1/2024) di kantornya.
Politisi Partai Golkar ini menyebut aturan menaikan pajak ini perlu dikaji ulang oleh pemerintah. Ia menilai pemangku kebijakan harusnya tidak menyamakan kondisi daerah dengan kondisi yang di Jakarta.
“Makanya kita ini agar dikaji ulang. Supaya daerah ini dibedakan dengan Jakarta.
Makanya kita liat dulu potensinya,” ujarnya.
Di sisi lain, pria asal Kecamatan Pujut ini mengingatkan kepada pemerintah agar mengutamakan nilai kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan.
Ia menegaskan banyak masukan terkait potensi kehilangan pelanggan akibat kenaikan pajak dari pengusaha hiburan di NTB.
“Kalau menaikan pajak itu kan bisa-bisa saja. Itu realita di lapangan seperti itu, cuma jangan-jangan setelah dinaikkan pengunjung ini berkurang,” pungkasnya.
Sebelumnya, pemerintah menaikan pajak hiburan tertentu mulai 40 hingga 75 persen. Hiburan yang terdampak seperti diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Hal itu dikecualikan pada jenis hiburan seperti bioskop, pagelaran musik dan busana, kontes kecantikan hingga pameran. Parameter pengecualiannya tidak juga jelas.
Pemerintah berdalih menaikan pajak hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa karena hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu saja, bukan oleh masyarakat umum.