KhasLifestyle

Imaji Air Api: Simbol Perlawanan dan Tugas Kenabian

MATARAM, PolitikaNTB – Puisi-puisi di buku Imaji Air Api adalah simbol “perlawanan” dan punya “tugas kenabian”. Bahkan penulisnya sudah tidak punya maksud apa-apa lagi, kecuali mendapatkan ridha publik.

Demikian disampaikan oleh Prof. Abdul Wahid saat membuka kegiatan Pagelaran Sastra dan Diskusi Buku Imaji Air Api Karya Agus K Saputra, yang diselenggarakan Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (25/6/2025).

Sama dengan puisi-puisi ini. Penulis saya kira bukan karena apa-apa. Bukan karena ingin mendapatkan posisi-posisi tertentu atau keuntungan-keutungan tertentu. Tapi semata-mata untuk mendapat ridha publik.

BACA JUGA: Penyair Joko Pinurbo Meninggal Dunia, Berikut Profilnya

“Tergugah hati saya dan mengimajikan sebuah peristiwa yang dialami oleh seorang sufi besar perempuan Rabiah al-Adawiah,” ujar Prof. Wahid.  Begini ceritanya:

Suatu hari, Rabiah al-Adawiah berjalan di jalan dengan memegang air di tangan kiri dan lilin di tangan kanan. Ketika ditanya oleh seseorang, “Apa yang kamu lakukan, wahai Rabiah?” Rabiah menjawab, “Aku ingin memadamkan api neraka dengan air di tangan kiriku ini, dan aku ingin membakar surga dengan api lilin di tangan kananku ini.”

Rabiah ingin menunjukkan bahwa kecintaannya kepada Allah tidak didasarkan pada harapan akan surga atau takut akan neraka, tetapi karena cinta yang tulus kepada Allah sendiri. Ia ingin memurnikan niatnya dan menunjukkan bahwa ibadahnya hanya untuk Allah, bukan karena imbalan atau hukuman.

Kisah ini menggambarkan kedalaman spiritualitas Rabiah al-Adawiah dan komitmennya untuk mencari cinta dan keridhaan Allah semata. Ia menjadi contoh bagi banyak orang dalam memahami makna sejati dari ibadah dan cinta kepada Allah.

“Sama dengan puisi-puisi ini. Penulis saya kira bukan karena apa-apa. Bukan karena ingin mendapatkan posisi-posisi tertentu atau keuntungan-keutungan tertentu. Tapi semata-mata untuk mendapat ridha publik,” kata salah satu penulis buku Heterarki Masyarakat Muslim Indonesia ini.

Bahkan, lanjut Prof. Wahid, sebagai penulis, dia sudah mati. Dia sudah berjarak lagi. Ketika buku diterbitkan dan menjadi milik publik. Maka kita sendiri yang akan menafsirkannya.

Oleh karena itu, ketika doa-doa yang mengunakan bahasa-bahasa agama tidak lagi membumi, maka puisi yang harus membumikannya. Puisi punya tugas untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu itu.

Puisi juga punya tugas menggugah kesadaran ilahiyah, kesadaran kita tentang Tuhan, tentang energi batin yang tidak dieksplor oleh orang. Yang tidak disadari oleh orang. Seolah kehidupan ini secara material semata-mata. Maka puisi mengambil bagian kecil kitab suci untuk membangkitkannya.

“Bukankah kita pun mengetahui, puisi-puisi ini lahir dari kegamangan, keresahan seorang penyair tentang kondisi-kondisi buruh, orang-orang terpinggirkan, orang-orang yang sering kali dilupakan oleh sejarah. Maka puisi harus mengambil “tugas kenabian”. Puisi mempunyai tugas profetik,” pungkas Prof. Wahid

Manusia yang Hilang

Iin Farliani sebagai pembedah buku puisi Imaji Air Api mengatakan bahwa kata imaji mempunyai sifat keserentakan. Sifat keserentakan adalah salah satu sifat puisi. Membaca puisi yang baik membuat kita bisa mengalami pengalaman keserentakan. Segala imaji yang bertabur dihamparkan dalam satu tebasan. Satu kata bisa memunculkan banyak imaji. Sebagaimana sifat puisi yang bermain di wilayah ambigu.

“Mari kita telaah puisi berjudul Imaji,” ujar Iin.

Imaji

imaji kerap membelit
di lingkar hidup
penuh gejolak

adakah kau tahu
ketika ia memberontak
melepas semua kesemuan

mata hatinya kelam
membungkus secawan noktah
hingga ajal menjelang

Kemaraya, 1 Mei 2019: 12.25

Bait pertama puisi Imaji, memunculkan pertanyaan apakah puisi hanya hadir saat hidup penuh gejolak? Lalu dengan kata membelit apakah ia hadir sebagai sesuatu yang positif atau negatif? Beberapa kata yang dekat dengan membelit: mengikat, melibatkan. Di sini larik yang terbaca kemudian lebih dekat pada sesuatu yang melawan.

Sebab di bait selanjutnya ada kata memberontak, lalu di bait terakhir mengesankan sesuatu yang membelit itu sebagai hal yang kelam. Kelam yang seakan berlangsung abadi dan hanya bisa diputus bila ajal menjelang. Dari keterhubungan makna antar bait, di sini tampaknya puisi memang dipandang hanya akan hadir membelit, bila sedang berada dalam situasi hidup yang penuh gejolak. Karena itulah puisi tercipta.

“Dalam pembacaan berikutnya, saya tidak menemukan adanya subjek yang tunggal yang bisa saling terhubung di puisi yang satu dengan yang lain. Dalam pembacaan yang berulang lagi, saya menemukan bahwa subjek yang bisa kita bayangkan sebagai “manusia”, ternyata telah hilang dalam kebanyakan puisi-puisi di buku ini.” ucap Iin, alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mataram.

BACA JUGA: MAS Harapkan Sosok Pemimpin NTB yang Berikutnya Kedepankan Musyawarah

Yang lebih cenderung muncul, tambah Iin, adalah kehadiran benda-benda yang dilekatkan dengan sifat manusia. Benda-benda yang menyandang sifat manusia ini terutama kita temukan kehadirannya pada puisi-puisi paruh awal di buku ini, di antaranya pada puisi Harapan Para Jelata (Hal.17) terdapat larik gelas kosong menyendiri.

Puisi berjudul Perahu Koyak (Hal.18), bait pembukanya langsung menghidupkan sebuah benda perahu koyak menepi/meninggalkan gegap gempita… lalu perahu itu dikatakan nyalinya perlahan karam/berakhir sudah daya upaya.

Benda yang me-manusia juga bisa dibaca pada puisi Napas Kehidupan (Hal.19) : sepasang sepatu teronggok/di ujung hati paling sepi… ia tetap menunggu/ rinai hujan menjadi kawan/. Selanjutnya sebagai “benda-benda yang me-manusia”, dalam bentuknya yang paling tajam bisa kita baca di puisi Daun Kering (Hal.24).

Kecenderungan puisi-puisi di buku imaji air api (2025), bagi Iin mengantarkannya pada pertanyaan berikutnya tentang bagaimana sesuatu yang bisa disebut hidup itu? Bila kita tak merasa ada manusia yang meng-ada dengan hidupnya, lebih tergantikan oleh kehadiran benda-benda yang menyandang sifat manusia, di manakah kemudian batas antara yang hidup dan yang mati itu?

“Pertanyaan serupa ini pun dihadirkan buku ini melalui puisi Kidung Kematian (Hal. 28): bagaimana harus bercerita/padamu merpati cantikku/manakala sayap tak ada. Apakah ia tetap sesuatu yang hidup manakala sayapnya tak ada? Apakah sayap yang tak ada tetap menjadikannya merpati?,” tanya Iin.

Dengan kecenderungan menyandingkan sifat manusia pada benda-benda yang tampak dalam buku ini, justru Iin memberi petunjuk yang menarik bahwa hal ini bisa menjadi pilihan pergulatan estetika puisi-puisi Agus K. Saputra di masa mendatang.

”Fokus utama bisa pada pencarian kreatif seputar puisi-puisi suasana, lebih bertumpu pada imaji nuansa ketimbang pada subjek yang terang serupa manusia. Pada kebanyakan puisi-puisi di mana yang benda lebih terlihat meng-ada dibandingkan yang manusianya, tersimpan tawaran imaji yang menarik sekaligus menantang,” tandas 5 (lima) besar Daftar Pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 Kategori Kumpulan Cerpen, lewat karya Mei Salon, ini.

*Lanskap Gersang*

Bagi penata letak dan desain cover Tjak S Parlan, puisi-puisi Agus K Saputra dalam himpinan Imaji Air Api, kerap membentangkan suasana musim kering –lanskap berwarna gersang, baik secara terang benderang maupun bersembunyi di antara pengimajinasian larik-larik kata.

Diksi seperti ‘kering’, ‘mengering’, ‘kemarau’, ‘membatu’, ‘berguguran’, ‘dahaga’, ‘berserakan’, ‘peluh’, telah mempertegas cintraan visual lanskap berwarna gersang tersebu, (hal. 67).

“Bagi saya, puisi Harapan Para Jelata mencoba menghamparkan ‘musim kering’ yang bisa saja menggiring asosiasi pembaca kepada musim paceklik –sebagai sebuah metafora dari kemiskinan yang merupakan bagian dari krisis besar akibat pandemi, resesi ekonomi, menipisnya ketersediaan pangan yang membuat harga kebutuhan pokok tidak terjangkau oleh sebagian kalangan masyarakat kelas bawah (baca: rakyat jelata) dan kita tahu penyakit kronis yang bernama krisis ini (bisa saja) terjadi karena perubahan iklim. Sawah dan ladang yang gagal panen, hutan dan sungai yang kering akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab dalam memperlakukan lingkungan,” tulis Tjak Parlan (hal. 69).

Lanskap Gersang, tambah Tjak Parlan, juga bisa dirasakan pada beberapa puisi lainnya. Puisi “Pulang Membawa Rezeki” merupakan tanggapan sosial terhadap masyarakat “kalangan bawah”, dengan latar suasana yang benar-benar kering kerontang. Bau pengap tumpukan sampah yang tepanggang matahari, peluh yang bercucuran mempertajam suasana tersebut. Namun demikian, puisi ini tidak menyerahkan dirinya pada puncak kesedihan. Agus K Saputra justru memberikan cercah harapan –bahkan kebahagian—lewat senyum serorang perempuan (ibu) (hal. 78).

*Simbol Tokoh Buruh*

Agus K Saputra dalam kesempatan ini mengatakan bahwa proses kreatif Imaji Air Api adalah berawal dari Peringatan May Day, 1 Mei 2019, yang dikenal juga sebagai Hari Buruh Internasional.

“Hari itu Rabu, 01-05-2019 pukul 12.25 saya berusaha mewujudkan imaji tentang sosok buruh Indonesia hingga keesokan harinya Kamis, 02-05-2019 pukul 13.05. Ini bisa dilihat di titik mangsa waktu yang tertera, tak satu pun saya berhasil mewujudkan nama itu,” ujar Agus.

Menanggapi hal ini, Dimas Valentino dalam tanggapannya menyebut nama almahumah Marsinah.

“Clue-nya adalah pertama, diksi air sebagai kaum marginal dan diksi api sebagai para penguasa. Kedua, di halaman persembahan dengan nyata tertulis ‘teruntuk kawan-kawan buruh di mana pun berada, dengan nyala peluhnya’,” kata Dimas disambut riuh peserta diskusi lainnya.

Pagelaran dan diskusi ini menampilkan Sak Sak Dance Production dengan mengaliwahanakan puisi Air Api. Sedangkan Pantjoro Sumarso memusikalisasi puisi Mayapada, Mau Jadi Apa Kamu Kelak, dan Pusara Ibu.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button