MEMILIH SULHAN
Oleh: Salman Faris
Ketika banyak gelembung teriakan sejumlah aktivis dan beberapa kaum terpelajar Sasak terkait mengarusutamakan Caleg lokal dalam Pemilu Legislatif 2024, sebenarnya pada masa bersamaan, mereka belum ada konsep yang kuat tentang apa yang dimaksudkan Caleg lokal tersebut.
Belum kukuh juga kriteria atau pun standar apa yang dinamakan Caleg lokal. Jika apa yang mereka maksudkan Caleg lokal ialah orang Sasak, lahir di Lombok, beragama Islam, maka dapat dikatakan kriteria ini cukup lemah.
Karena definisi orang Sasak pun, sejatinya hingga kini masih sumir. Identitas Sasak itu masih banyak persoalan.
Apabila yang mereka maksudkan Sasak ialah identitas Sasak itu sendiri, hal ini dapat ditampik dengan kenyatatan, di mana orang yang mereka nilai bercorak Sasak sepenuhnya pun belum berhasil merepresentasikan dan mengaktualisasikan Sasak itu sendiri di ranah politik, pemerintahan dan kekuasan yang lebih besar.
Para wakil yang sudah mereka pilih sangat normatif. Menjalankan tugas formal dan nampak sangat jauh dari imajinasi kesasakan yang dibayangkan.
Bahkan pada wakil rakyat yang sudah terpilih, yang mereka sebut mewakili Sasak pun tidak memberikan kontribusi secara signifikan terhadap Sasak kolektif: Sasak yang membangun peradaban sebagai bangsa, bukan sebagai individu.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka geliat pengarusutamaan Caleg Sasak tersebut, sekali lagi, masih banyak kelemahan.
Selain dari sisi konseptual, kriteria atau standar seperti yang disinggung di atas, kelemahan tersebut terutama sekali juga nampak dalam nihilnya tawaran sosok yang dimaksudkan.
Kalau figur Sasak yang mereka maskudkan ialah beberapa wakil rakyat yang masih aktif, maka sungguh gerakan tersebut hanya buih yang menggelembung sebelum lenyap dikibas panas.
Sebab seperti yang dikatakan sebelum ini, wakil rakyat yang masih aktif tersebut dinilai nihil visi dan komitmen kesasakan kolektif. Sebagai individu nampak bergelang emas namun sebagai kelompok laksana berpijak di atas lumpur.
Nihil manfaat dan kontribusi kepada Sasak sebagai bangsa. Ketokohan mereka hanya untuk diri mereka sendiri, bukan buat Sasak sebagai kesatuan bangsa.
Semakin keropos apabila figur yang dimaksukan oleh beberapa aktivis dan sejumlah kaum terpelajar Sasak tersebut diambil dari birokrat.
Maka sungguh, gerakan itu hanyalah menebis anak panah melawan arus angin. Karena jika dilihat lembaran sejarah, amat sedikit figur Sasak yang berlatar belakang birokrat berhasil sebagai payung Sasak dalam bingkai kebangsaan.
Terutama birokrat terkini. Mereka hanya menari-nari dalam alur monoton sambil menikmati pangkat dan jabatan tanpa ada korelasi yang kuat dengan tujuan politik kebangsaan Sasak.
Jalur birokrasi belum terbukti secara mantap melahrikan apa yang diimajinasikan tentang figur Sasak kolektif tersebut. Apabila menyebut Lalu Azhar dan Lalu Mudjitahid, misalnya, mereka hanya segelintir orang yang mentereng, namun lingkaran perjuangan mereka yang dinilai berhasil tersebut masih sebatas isu-isu lokal.
Mereka berdua juga merupakan produk atau gemblengan karakter birokrasi lama, bukan terkini. Selain itu, Kontribusi mereka belum menembus wilayah nasional secara lebih luas. Padahal, yang paling diperlukan bangsa Sasak kali ini dan masa hadapan ialah gaung nasional.
Dan visi ini belum dicapai oleh wakil rakyat dan birokrat yang masih aktif. Dengan kata lain, wakil rakyat dan birokrat Sasak yang masih aktif, dapat dinilai sebagai buta huruf terkait kesadaran bahwa mereka wakil Sasak yang di pundak mereka ada misi kebangsaan Sasak yang wajib diduniakan.
Tentu saja, mereka sukses, cemerlang dan berjaya sebagai individu namun gagal gemilang sebagai kelompok: Sasak kolektif.
Seterusnya, dalam situasi, di mana ada gerakan mengarusutamakan Caleg Sasak yang masih lemah dan nihilnya visi Sasak kolektif wakil rakyat serta birokrat aktif, muncullah Sulhan.
Seorang yang dipandang sebagai Sasak, lahir di Lombok dan beragama Islam. Hidup dan tumbuh dalam ekosistem kebudayaan Sasak.
Sebenarnya, saya termasuk orang yang mengkritik dan menyangsikan Sulhan. Keraguan cukup besar, apakah Sulhan dapat menjadi antitesis terhadap wakil rakyat yang masih aktif?
Apakah Sulhan dapat menjadi pembalik arus terhadap politisi senior yang hanya senior dalam berpolitik namun nihil visi dan komitmen kebangsaan Sasak?
Apakah Sulhan dapat berperan sebagai penggubah corak baru Sasak sebagai bangsa di level nasional?
Apakah Sulhan dapat berperan secara baik sebagai pendobrak-pembongkar?
Begitulah deretan pertanyaan terus muncul seketika, di mana pertanyaan tersebut sebenarnya semakin membesarkan keraguan terhadap Sulhan.
Untuk mencairkan keraguan tersebut, maka dalam kurun satu tahun lebih, bahkan hampir dua tahun, diprakarsai diskusi kecil yang bertujuan untuk membongkar visi dan komitmen kesasakan Sulhan.
Menariknya, Sulhan menerima secara positif keraguan tersebut. Dan mengakui kebenaran lemahnya kontribusi dan sintesis kesasakan dengan wakil rakyat yang masih aktif.
Sulhan mencoba memutar waktu ketika masih menjadi wakil rakyat di Lombok Barat dengan apa saja yang diperbuat dalam konteks kesasakan. Sulhan menyadari, bahwa memang belum ada kesadaran kolektif.
Belum ada sistem yang secara khusus digunakan untuk menduniakan Sasak dalam ruang politik. Sulhan juga menyadari bahwa cara berpolitik orang Sasak sangat lemah dan tidak memiliki karakter kebangsaan.
Atas dasar itu, maka secara perlahan dirumuskan tentang langkah politik Sulhan, yang tentu saja didasari pada gagasan antitesis politisi senior dan wakil rakyat aktif.
Fondasi kesadarannya bukan Sasak sebagai individu namun Sasak sebagai bangsa. Sasak sebagai kelompok yang mesti berjuang dalam satu sistem yang kukuh.
Sasak yang dapat mencerminkan legasi kesasakan yang dapat dijadikan sebagai panduan, terutama dalam konteks politik Sasak.
Langkah pertama yang dilakukan Sulhan ialah berikhtiar melalui partai yang lain. Hal ini penting menurut Sulhan, karena politik kesasakan agak sukar diimplementasikan dalam partai lama yang dianggotainya.
Sulhan menegaskan, hal ini bukan tidak mungkin, sangat mungkin, namun dalam konteks politik Sasak, pilihan bertukar partai ialah yang paling sesuai untuk saat ini.
Langkah berikutnya ialah membingkai perjuangan politik dengan tidak mengkotak-kotakkan Sasak ke dalam beragam garis haluan.
Sepanjang pendalaman tujuan perjuangan politik, Sulhan menjadi lebih memahami akar masalah tercerai-berainya Sasak ke lubang kekerdilan sebagai bangsa.
Dikatakan akar masalah karena, pertama masalah ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Sejak Sasak itu ada sudah terjerumus ke dalam gubuk-dasan, yang seterusnya membentuk karakter mereka menjadi bangsa kotak kecil yang saling berbentur satu sama lain.
Kedua, akar masalah dipahami sebagai kegagalan wakil rakyat dan birokrat aktif dalam memecahkan akar masalah tersebut. Bahkan dijumpai, sebagian dari mereka menganggap masalah ini tidak penting sebab yang paling utama ialah diri mereka sendiri.
Sebagai orang yang tumbuh dalam budaya pesantren, Sulhan semakin menyadari bahwa pesantren merupakan salah satu tonggak utama perpolitikan dan kebangsaan Sasak.
Hanya saja, visi Sulhan, orang Sasak tidak boleh lagi terlalu terjerembab ke dalam pengelompokan Sasak berdasarkan organisasi kemasyarakatan.
Sebagai makhluk sosial, kedudukan organisasi kemasyarakatan di kalangan orang Sasak sangat penting, namun harus ada kesadaran kritis bahwa ormas merupakan salah satu medan perjuangan, tetapi bukan satu-satunya arena dan tidak juga dapat dibenarkan jika karena pilihan ormas yang berbeda membuat orang Sasak makin kecil tercerai-berai. Terserak-serak sebagai bangsa.
Dalam konteks kebudayaan, arah perjuangan politik Sulhan ialah membangun kesefahaman kebudayaan yang lebih solid. Lebih utuh. Kebudayaan Sasak tidak boleh lagi berada di piring masing-masing orang Sasak.
Kebudayaan Sasak mesti berada di altar yang bernama bangsa Sasak. Budaya sublokal Sasak perlu ada sebagai penguat karakter individu, namun ia tak boleh melemahkan kesolidan-keutuhan kebudayaan Sasak sebagai bangsa. Bahkan, Sulhan menilai setiap varian kebudayaan Sasak mesti membangun atom budaya yang dapat dijadikan sumber nilai budaya bagi orang Sasak secara kolektif.
Barulah kemudian merumuskan langkah politik strategis agar visi dan komitmen kesasakan Sulhan tersebut dapat terealissasi. Salah satunya, seperti yang sudah dinyatakan sebelum ini, bahwa Sulhan merupakan antitesis. Pendobarak kebekuan politisi senior dan birokrat yang sudah terbukti nyata tidak berhasil mengangkat kemartabatan Sasak secara nasional-global.
Jika pun Lombok terkenal saat ini, pertama bukan Sasak yang terkenal. Kedua, bukan politisi-bukan wakil rakyat dan birokrat aktif yang menjadi aktor utama (dalam hal ini pasti tak bermaksud menepikan kontribusi TGB, Datoβ Bagu dan penggiat seni pop dalam beberapa tahun ini).
Melainkan arus global pariwisata. Maknanya, jika tak ada arus global pariwisata tersebut, Lombok terutama Sasak akan terkunci di bilik gelap kekerdilan sebagai bangsa. Bahkan hingga ke penghujung sejarah.
Ada janji Sulhan yang tertanam: Mengetepikan Sulhan sebagai individu lalu memusatkan perjuangan Sulhan sebagai representasi kesasakan.
Hal ini tidak bermakna individu Sulhan habis seketika, karena bagaimana pun Sulhan masih memiliki ekosistem individu. Karena itu, janji ini lebih kepada dekonstruksi, lebih merujuk kepada disrupsi terhadap kegagalan wakil rakyat dan birokrat aktif dalam memperjungkan Sasak kolektif: makan tidak kenyang sendiri.
Tekad Sulhan tidak akan pernah mewarisi kegagalan itu ialah tujuan politik Sasak yang semakin tertanam.
Karena itu, menilik Sulhan secara lebih lengkap, dapat dilihat bahwa boleh jadi Sulhan merenangi arus yang dibawa oleh beberapa aktivis dan sejumlah kaum terpelajar Sasak tentang mengarusutamakan Caleg lokal.
Namun Sulhan segera bermetamorfosis menjadi kesadaran baru politisi muda yang membawa mandat mendobrak kegagalan politisi senior, wakil rakyat dan biroktat aktif dalam Sasak kolektif.
Sulhan tidak mau terjebak ke dalam primordialisme sempit dengan membongkar akar masalah kesasakan selama ini. Dengan kata lain, Sulhan menerima logika gerakan mengarusutamakan Caleg lokal, akan tetapi wajib diimbangi dengan menghadirkan tokoh baru yang lebih sesuai dengan keperluan Sasak kini dan masa hadapan. Dan pada diri Sulhan ada tekad itu.
Bagi Sulhan, adalah sangat naif mendorong Caleg lokal yang tidak bermutu, yang akhirnya mewarisi kegagalan politisi senior, wakil rakyat dan birokrat aktif menemukan dan memecahkan akar masalah perpolitikan Sasak.
Dengan begitu, bagi mereka, terutama para penggerak pengarusutamaan Caleg lokal, memilih Sulhan ialah rasional. Merupakan jalan kemestian.
Jika Sulhan gagal berayun langkah ke senayan dalam Pemilu Legislatif 2024, bukan karena kelemahan dia sendiri. Melainkan kegagalan orang Sasak (sebagai pemilih) memahami tujuan politik kebangsaan mereka. Dan kegagalan tersebut dapat dipahami sebagai satu situasi keterancaman-kekerdilan Sasak yang berterusan.
Karena Sulhan ialah antiteis kegagalan lembaran politik kesasakan.
Malaysia, 15 Januari 2024