Politik

Abolisi, Amnesti, dan Politik Pengampunan Prabowo: Ketika Keadilan Tidak Lagi Soal Balas Dendam

Oleh: Dr. Wahyuddin,SH.,M.H (Dosen FHISIP Universitas Mataram)

Di tengah turbulensi demokrasi dan kecamuk warisan sejarah, Prabowo Subianto mengambil jalan yang tak terduga: bukan perlawanan frontal terhadap tuduhan pelanggaran HAM, bukan pula retorika populis demi menundukkan oposisi. Ia justru melangkah ke dalam politik pengampunan, lewat amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong.

Seperti Julius Caesar yang memaafkan lawan-lawan senat demi menyelamatkan republik, Prabowo tidak sedang tunduk pada tekanan melainkan sedang memainkan jurus yang lebih dalam dari sekadar kekuasaan: jurus pemulihan politik melalui etika pengampunan, yang dalam pandangan Jacques Derrida, “Pengampunan sejati adalah ketika kita memaafkan sesuatu yang sebenarnya tak termaafkan.”

Langkah ini menjadi refleksi paling kontemporer dari kutipan itu bahwa pengampunan bukan hanya tindakan politik, tapi juga keberanian eksistensial untuk meninggalkan dendam sebagai instrumen kekuasaan.

Mengurai Ketegangan Filsafat Hukum dalam Praktik Kekuasaan

Prabowo bertindak secara tepat meredakan ketegangan antara mazhab sociological
jurisprudence dan realisme hukum, dengan pendekatan utilitarian. Ia memahami bahwa terlalu berpegang pada prosedur hukum murni terlebih prosesnya dicurigai kental politis, tanpa mempertimbangkan manfaat sosial akan menjerumuskan negara ke dalam ketegangan abadi. Di sisi lain, terlalu mengandalkan realitas politik bisa menggerus legitimasi hukum itu sendiri. Maka ia mengambil jalan tengah politik hukum yang efisien sekaligus manusiawi.

Prabowo tahu betul, banyak hal yang harus menjadi fokusan di tengah situasi global yang tidak baik-baik saja: konflik Israel Iran yang kian memanas, ketegangan di Laut China Selatan, hingga gesekan Thailand–Kamboja di kawasan ASEAN. Menyandera energi nasional untuk perang internal hanya akan melemahkan posisi Indonesia di panggung geopolitik.

Interaksi Simbolik Politik &,Ius Constituendum

Pemberian abokisi &Amnesti menjadi massage bahwa Prabowo bukan hanya presiden bagi pendukungnya, melainkan pemimpin untuk seluruh rakyat. Seperti dikatakan Hendri Satrio, ini adalah upaya simbolik untuk mengikis polarisasi dan membangun legitimasi moral sebagai kepala negara.

Kritik keras datang dari kalangan akademisi seperti Feri Amsari, yang mewanti-wanti bahwa ini bisa jadi preseden buruk dalam demokrasi: potensi menyandera oposisi lewat kriminalisasi, lalu membebaskannya demi kooptasi politik. Namun hingga kini, PDIP belum resmi bergabung ke dalam pemerintahan. Artinya, amnesti ini tidak serta-merta mereduksi peran oposisi. Tetapi terlepas dari itu karena narasi ataupun athmosfer politik itu dinamis yang dari kaca mata interaksi-simbolik politik bisa diperdebatkan. Namun perlu ditegaskan, amnesti dan abolisi adalah hak prerogatif konstitusional Presiden, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 1954.

Amnesti menghapus seluruh akibat hukum, sementara abolisi menghentikan penuntutan seluruh proses hukum terhadap Tom dan Hasto otomatis gugur. Begitu saktinya abolisi & amnesti, dari perspektif hukum (ius constituemdum), diperlukan konstruksi normatif (kriteria-kriteria hukum objektif) dalam pemberian amnesti dan abolisi, agar tidak sekadar bersandar pada isu konstelasi politik sesaat, tetapi bertumpu pada rasa keadilan universal yang bisa diterima oleh common sense.

Ini penting dilakukan ditengah konsep abolisi dan amnesti masih bertahan dalam definisi klasiknya, namun secara empiris telah mengalami pergeseran paradigma dimana abolis dan amnesti tidak lagi an sich bagi tahanan politik, tetapi bagi rakyat biasa, sebut saja amnesti BQ. nuril dll.

Pergeseran paradigma ini bisa di mafhumi lewat kacamata Khunian dan demi terwujudnya prinsip “equality before the law”; di tengah perbedaan yang ada (sosial, politik, ekonomi dsb) terdapat akses hukum yang sama yang dijamin oleh Negara.

Steatment Pemantik Berlanjut: Politik Pengampunan, Bukan Pelarian

Kita boleh berspekulasi tentang motif, tetapi satu hal yang tak bisa diingkari: Prabowo memilih jalan damai di tengah hiruk-pikuk dendam politik. Ia tidak membalas dengan hukum, tapi memulihkan lewat pengampunan melalui pendekatan konstitusional. Dalam dunia yang penuh retakan kecurigaan, era keterbelahan dan populisme, ia menyuntikkan
ulang makna kekuasaan yang tidak beringas, melainkan reflektif.

Dan dalam tafsir Derridian: ia memilih kewarasan politik di tengah gempuran kegilaan balas dendam. Jika Derrida berkata, “forgiveness is madness, and yet we must forgive”, maka kita tahu: tindakan Prabowo mungkin dianggap “gila” oleh logika politis jangka pendek, namun justru itulah keberaniannya untuk menjadi negarawan. Seorang negarawan sejati bukan hanya tahu kapan harus memukul, tapi juga kapan harus
memaafkan. Dan di antara keduanya, yang terakhir lebih.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button